ANTARA TU BIANG DAN CALON ARANG
Pada hakikatnya bahasa yang digunakan perempuan dan laki-laki, baik yang dituturkan secara lisan maupun tulisan berbeda. Perempuan lebih intuitif. Hal ini pulalah yang terlihat jelas dari bahasa yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer ketika menceritakan Cerita Calon Arang dan bahasa yang digunakan oleh Femmy Syahrani dan Yulyana ketika menceritakan Galau Putri Calon Arang.
Kedua
novel ini pada dasarnya sama-sama menceritakan tentang Calon Arang—perempuan
yang memiliki teluh luar biasa mematikan. Namun, jelas memiliki gaya berbeda
menceritakan Calon Arang baik dari segi bahasa serta kedudukan Calon Arang di
lingkungan masyarakat.
Galau Putri Calon Arang
(Femmy Syahrani dan
Yulyana)
Ratna
Manggali adalah anak Tu Biang—Calon Arang yang sangat ditakuti seluruh warga.
Tidak ada satu orang pun yang berani menantang Calon Arang, sekalipun bersalah.
Maka semua warga memilih diam. Mengurung diri di rumah. Ketakutan itu jugalah
yang menyebabkan Ratna Manggali tidak juga dilamar oleh lelaki. Padahal, Ni
Dyah, sahabatnya, telah mempunyai dua orang anak. Ratna lebih banyak
menghabiskan waktu bersandar di pohon tanjung dan memetiki bunganya. Rakajasa,
lelaki yang tidak takut pada Tu Biang, berniat untuk menikahi Ratna dan
menjadikannya isteri ketiga. Rakajasa memaksa meski Ratna menolak dengan sopan.
Beberapa
hari kemudian, wabah muncul tanpa peringatan. Suatu penyakit yang mematikan.
Itu semua adalah ulah Tu Biang. Hingga, kabar tersebut sampai ke kerajaan
Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga—anak kandungnya.
Cerita Calon Arang (Pramoedya Ananta Toer)
Calon
Arang adalah seorang perempuan tua dan jahat. Pemilik teluh dan penghisap darah
manusia. Calon Arang mempunyai seorang anak gadis bernama Ratna Manggali—yang
sangat cantik, tetapi karena ibunya seorang peteluh, tidak ada seorang pun yang
ingin berteman dengannya, apalagi meminangnya. Ratna Manggali dijadikan warga
sebagai bahan gunjingan. Hal inilah yang membuat Calon Arang marah. Lalu teluh
ditebarkannya. Calon Arang menyuruh murid-muridnya berkeramas dengan darah
manusia. Tidak ada yang berani menghentikannya. Jika ada seseorang yang melihat
atau mengintip tindakan mereka, maka orang tersebut akan diseret dan darahnya
akan digunakan untuk berkeramas.
***
Begitulah.
Pelukisan tokoh Calon Arang sangat berbeda oleh kedua pengarang ini, barang
tentu disebabkan oleh kedudukan pengarang: perempuan dan laki-laki. Cerita Calon Arang, Pram melukiskan
tokoh perempuannya sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar
menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Ratna Manggali begitu tergantung
kepada Bahula, suaminya. Galau Putri
Calon Arang, Femmy Syahrani dan Yulyana melukiskan tokoh perempuannya
seorang yang tegas, mandiri, penuh rasa percaya diri. Ratna Manggali percaya
diri ke luar dari rumahnya membantu orang yang sakit meski ia diludahi dan
menelan caci maki. Pun Calon Arang (Tu Biang)
adalah seorang yang mandiri, tidak bergantung kepada suami dan Airlangga
anaknya.
Galau Putri Calon Arang
diterbitkan di Jakarta pada Juli 2005, sedang Cerita Calon Arang diterbitkan di Jakarta pada cetakan pertama,
Juli 2003. Oleh sebab itu, yang menjadi teks hipogram adalah Cerita Calon Arang, sebab Femmy Syahrani
dan Yulyana jelas mencantumkan di daftar bacaan bahwa Galau Putri Calon Arang merupakan pengembangan dari Cerita Calon Arang yang ditulis oleh
Pram. Selain itu, ada pula Prosa Liris yang ditulis oleh Toeti Heraty dengan
judul Kisah Perempuan Korban Patriarki.
Namun, Kisah Perempuan Korban Patriarki
tidak akan dibahas di sini karena tidak berbentuk novel.
Pada
dasarnya kedua novel ini diangkat dari sebuah dongeng “Calon Arang” di Bali.
Kedua novel ini pun diangkat dari peristiwa yang sama, yaitu seorang Calon
Arang pemilik teluh yang menyebabkan kematian banyak orang. Posisi Ratna
Manggali dalam kedua novel ini juga sama, yaitu perempuan yang menikah dengan
Bahula—yang kelak membujuk Ratna mengambil kitab/lontar Calon Arang, agar tiada
lagi kematian. Kitab/lontar tersebut diberikan kepada pandita dan mencari
kelemahan Calon Arang. Dalam kedua novel ini, tidak dijelaskan mengenai
keberadaan suami Calon Arang karena hal terpenting adalah besarnya rasa sayang
Calon Arang kepada Ratna Manggali, putrinya.
Berdasarkan
sifat dan karakter tokoh, teknik penceritaan,
kedudukan tokoh serta pendirian dan ucapan tokoh perempuan, kedua novel
ini sangat berbeda. Dalam novel Galau
Putri Calon Arang, Calon Arang hanya menebar teluh ketika ada seseorang
yang menyakiti hati Ratna Manggali. Selain itu, Calon Arang tidak diceritakan
sebagai seorang peteluh yang beringas dan tidak mempunyai rasa iba; artinya
Calon Arang hanya akan menyakiti orang yang menyakiti putrinya. Sedangkan dalam
novel Cerita Calon Arang, pengarang
menggambarkan Calon Arang sebagai seorang peteluh yang beringas—penghisap darah
manusia serta memaksa murid-muridnya berkeramas dengan darah manusia. Tokoh
Airlangga dalam Galau Putri Calon Arang,
adalah seorang Raja yang antagonis—yang menghalalkan segala cara demi kerajaan;
sedangkan dalam Cerita Calon Arang,
Airlangga tidak banyak diceritakan. Pun Ratna Manggali, dalam Galau Putri Calon Arang, adalah seorang
perempuan berbudi luhur, meski banyak yang tidak menyukainya oleh sebab teluh
ibunya. Ratna tetap mengobati penyakit yang ditebarkan oleh ibunya sendiri.
Dalam Cerita Calon Arang, Ratna
Manggali hanya diceritakan sebagai seorang perempuan cantik dan ayu.
Berdasarkan
teknik penceritaan, dalam Galau Putri
Calon Arang, Femmy Syahrani dan Yulyana lebih fokus menceritakan Ratna
Manggali serta bagaimana konflik yang dialaminya. Femmy Syahrani dan Yulyana
benar mampu mengangkat sisi keperempuanan Calon Arang, seorang perempuan
penyayang, yang tidak akan mengganggu orang apabila keluarganya tidak diusik.
Meski Calon Arang adalah seorang peteluh, Femmy Syahrani dan Yulyana mampu
membuat dan meyakinkan pembaca bahwa Calon Arang tidak begitu beringas;
sedangkan dalam Cerita Calon Arang, Pram
melukiskan Calon Arang sebagai tokoh “imajiner” yang tokohnya sulit dipercaya; dan meski pembaca ragu, sesuai
dengan logika cerita bahwa Calon Arang adalah seorang peteluh, maka Pram dapat
membenarkan keraguan tersebut hingga cerita selesai.
Berdasarkan
kedudukan tokoh, Ratna Manggali dan Calon Arang (Tu Biang) dalam novel Galau Putri Calon Arang, adalah adik perempuan dan ibu kandung
Airlangga—Raja Kahuripan dan sesuai dengan logika cerita, Calon Arang dan Ratna
Manggali diusir dari Kerajaan. Calon Arang adalah mantan Ratu Bali di
Kahuripan, namun suami dan anaknya Airlangga, mengusirnya dari Kerajaan dan
menelantarkannya beserta putrinya. Itu sebabnya, Calon Arang menebar teluh
untuk membalaskan dendam dan sakit hatinya. Dalam Cerita Calon Arang, Airlangga tidak memiliki hubungan keluarga
dengan Calon Arang dan Ratna Manggali. Itu sebabnya, pembaca masih mengerutkan
kening dan bingung mengapa Calon Arang begitu beringas.
Berdasarkan
pendirian dan ucapan tokoh perempuan, Ratna Manggali dalam Galau Putri Calon Arang, sadar akan kedudukannya sebagai teman Ni
Dyah. Ia tidak dapat tertawa cekikikan sebagai gadis remaja lagi karena di
umurnya yang sudah matang, ia belum kunjung dilamar. Maka, ia pun menyibukkan
diri dengan pekerjaan seperti merawat tetangganya yang sakit dan tabah meski
banyak menelan cacian. “Aku telah berbuat
durhaka padamu, Tu Biang. Aku tidak pantas berbahagia padahal Tu Biang mati
karena penghianatanku.” (halaman 165-166). Calon Arang, harus terus
melindungi Ratna Manggali, putrinya. Tidak ingin ada orang yang memaki dan
membencinya. Calon Arang ingin agar Ratna Manggali segera menikah. Maka, Calon
Arang pun menebar teluh kepada siapa pun yang mengganggu hidup mereka terutama
Ratna, sebab banyak prajurit dari Kerajaan Kahuripan ingin menangkap mereka. “Sejak aku meninggalkan Bali, aku sudah
tidak punya anak lelaki.” (halaman 112); “Wabah ini... kuciptakan untuk membalas sakit hati kita. Sayang sekali
aku lupa, kau, Ratna, putriku, sifatmu tidak seperti aku. Kau lebih mirip
ayahmu yang cinta damai. Kau tidak seperti Airlangga yang punya ambisi serupa
denganku. Aku lupa itu sehingga tak sadar bahwa perbuatanku justru menyakiti
hatimu, merampas kedamaianmu.” (halaman 166)
Dalam
Cerita Calon Arang, Calon Arang
begitu sayang pada Ratna. Galau juga ia karena tak kunjung ada lelaki yang
ingin meminang putrinya—padahal umurnya sudah 25 tahun lebih. Calon Arang marah
karena tidak banyak orang yang menyukainya. Dari murid-muridnya, ia banyak
mendengar bahwa anaknya jadi buah bibir karena tak kunjung diperisteri orang.
Sifatnya yang jahat semakin tumbuh. Ia hendak membunuh orang
sebanyak-banyaknya, supaya puas hatinya. “Ampun
Sang Maha Pendeta. Sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan paduka tuan.
Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba dan berilah
hamba jalan pada budi yang luhur. Ya, Maha Pendeta segeralah paduka tuan
menyucikan jiwa-raga hamba yang durhaka ini.” (halaman 82)
Apakah
Femmy Syahrani dan Yulyana ingin membela kaumnya melalui teknik penceritaan
serta memposisikan Ratna Manggali sebagai tokoh utama?
Penulis adalah
mahasiswi semester VII Universitas HKBP Nommensen, Medan dan aktif bergiat di
KSI-Medan.
SUMBER: ANALISA MINGGU, 21 DESEMBER 2014

.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar