Senin, 18 Mei 2015

ESAI SASTRA

ANTARA TU BIANG DAN CALON ARANG

Oleh: Rayona Tampubolon



      Pada hakikatnya bahasa yang digunakan perempuan dan laki-laki, baik yang dituturkan secara lisan maupun tulisan berbeda. Perempuan lebih intuitif. Hal ini pulalah yang terlihat jelas dari bahasa yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer ketika menceritakan Cerita Calon Arang dan bahasa yang digunakan  oleh Femmy Syahrani dan Yulyana ketika menceritakan Galau Putri Calon Arang.
Kedua novel ini pada dasarnya sama-sama menceritakan tentang Calon Arang—perempuan yang memiliki teluh luar biasa mematikan. Namun, jelas memiliki gaya berbeda menceritakan Calon Arang baik dari segi bahasa serta kedudukan Calon Arang di lingkungan masyarakat.
Galau Putri Calon Arang (Femmy Syahrani dan Yulyana)
Ratna Manggali adalah anak Tu Biang—Calon Arang yang sangat ditakuti seluruh warga. Tidak ada satu orang pun yang berani menantang Calon Arang, sekalipun bersalah. Maka semua warga memilih diam. Mengurung diri di rumah. Ketakutan itu jugalah yang menyebabkan Ratna Manggali tidak juga dilamar oleh lelaki. Padahal, Ni Dyah, sahabatnya, telah mempunyai dua orang anak. Ratna lebih banyak menghabiskan waktu bersandar di pohon tanjung dan memetiki bunganya. Rakajasa, lelaki yang tidak takut pada Tu Biang, berniat untuk menikahi Ratna dan menjadikannya isteri ketiga. Rakajasa memaksa meski Ratna menolak dengan sopan.
Beberapa hari kemudian, wabah muncul tanpa peringatan. Suatu penyakit yang mematikan. Itu semua adalah ulah Tu Biang. Hingga, kabar tersebut sampai ke kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Airlangga—anak kandungnya.

Cerita Calon Arang (Pramoedya Ananta Toer)
Calon Arang adalah seorang perempuan tua dan jahat. Pemilik teluh dan penghisap darah manusia. Calon Arang mempunyai seorang anak gadis bernama Ratna Manggali—yang sangat cantik, tetapi karena ibunya seorang peteluh, tidak ada seorang pun yang ingin berteman dengannya, apalagi meminangnya. Ratna Manggali dijadikan warga sebagai bahan gunjingan. Hal inilah yang membuat Calon Arang marah. Lalu teluh ditebarkannya. Calon Arang menyuruh murid-muridnya berkeramas dengan darah manusia. Tidak ada yang berani menghentikannya. Jika ada seseorang yang melihat atau mengintip tindakan mereka, maka orang tersebut akan diseret dan darahnya akan digunakan untuk  berkeramas.
***
Begitulah. Pelukisan tokoh Calon Arang sangat berbeda oleh kedua pengarang ini, barang tentu disebabkan oleh kedudukan pengarang: perempuan dan laki-laki. Cerita Calon Arang, Pram melukiskan tokoh perempuannya sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Ratna Manggali begitu tergantung kepada Bahula, suaminya. Galau Putri Calon Arang, Femmy Syahrani dan Yulyana melukiskan tokoh perempuannya seorang yang tegas, mandiri, penuh rasa percaya diri. Ratna Manggali percaya diri ke luar dari rumahnya membantu orang yang sakit meski ia diludahi dan menelan caci maki. Pun Calon Arang (Tu Biang)  adalah seorang yang mandiri, tidak bergantung kepada suami dan Airlangga anaknya.
Galau Putri Calon Arang diterbitkan di Jakarta pada Juli 2005, sedang Cerita Calon Arang diterbitkan di Jakarta pada cetakan pertama, Juli 2003. Oleh sebab itu, yang menjadi teks hipogram adalah Cerita Calon Arang, sebab Femmy Syahrani dan Yulyana jelas mencantumkan di daftar bacaan bahwa Galau Putri Calon Arang merupakan pengembangan dari Cerita Calon Arang yang ditulis oleh Pram. Selain itu, ada pula Prosa Liris yang ditulis oleh Toeti Heraty dengan judul Kisah Perempuan Korban Patriarki. Namun, Kisah Perempuan Korban Patriarki tidak akan dibahas di sini karena tidak berbentuk novel.
Pada dasarnya kedua novel ini diangkat dari sebuah dongeng “Calon Arang” di Bali. Kedua novel ini pun diangkat dari peristiwa yang sama, yaitu seorang Calon Arang pemilik teluh yang menyebabkan kematian banyak orang. Posisi Ratna Manggali dalam kedua novel ini juga sama, yaitu perempuan yang menikah dengan Bahula—yang kelak membujuk Ratna mengambil kitab/lontar Calon Arang, agar tiada lagi kematian. Kitab/lontar tersebut diberikan kepada pandita dan mencari kelemahan Calon Arang. Dalam kedua novel ini, tidak dijelaskan mengenai keberadaan suami Calon Arang karena hal terpenting adalah besarnya rasa sayang Calon Arang kepada Ratna Manggali, putrinya.
Berdasarkan sifat dan karakter tokoh, teknik penceritaan,  kedudukan tokoh serta pendirian dan ucapan tokoh perempuan, kedua novel ini sangat berbeda. Dalam novel Galau Putri Calon Arang, Calon Arang hanya menebar teluh ketika ada seseorang yang menyakiti hati Ratna Manggali. Selain itu, Calon Arang tidak diceritakan sebagai seorang peteluh yang beringas dan tidak mempunyai rasa iba; artinya Calon Arang hanya akan menyakiti orang yang menyakiti putrinya. Sedangkan dalam novel Cerita Calon Arang, pengarang menggambarkan Calon Arang sebagai seorang peteluh yang beringas—penghisap darah manusia serta memaksa murid-muridnya berkeramas dengan darah manusia. Tokoh Airlangga dalam Galau Putri Calon Arang, adalah seorang Raja yang antagonis—yang menghalalkan segala cara demi kerajaan; sedangkan dalam Cerita Calon Arang, Airlangga tidak banyak diceritakan. Pun Ratna Manggali, dalam Galau Putri Calon Arang, adalah seorang perempuan berbudi luhur, meski banyak yang tidak menyukainya oleh sebab teluh ibunya. Ratna tetap mengobati penyakit yang ditebarkan oleh ibunya sendiri. Dalam Cerita Calon Arang, Ratna Manggali hanya diceritakan sebagai seorang perempuan cantik dan ayu.
Berdasarkan teknik penceritaan, dalam Galau Putri Calon Arang, Femmy Syahrani dan Yulyana lebih fokus menceritakan Ratna Manggali serta bagaimana konflik yang dialaminya. Femmy Syahrani dan Yulyana benar mampu mengangkat sisi keperempuanan Calon Arang, seorang perempuan penyayang, yang tidak akan mengganggu orang apabila keluarganya tidak diusik. Meski Calon Arang adalah seorang peteluh, Femmy Syahrani dan Yulyana mampu membuat dan meyakinkan pembaca bahwa Calon Arang tidak begitu beringas; sedangkan dalam Cerita Calon Arang, Pram melukiskan Calon Arang sebagai tokoh “imajiner” yang tokohnya sulit  dipercaya; dan meski pembaca ragu, sesuai dengan logika cerita bahwa Calon Arang adalah seorang peteluh, maka Pram dapat membenarkan keraguan tersebut hingga cerita selesai.
Berdasarkan kedudukan tokoh, Ratna Manggali dan Calon Arang (Tu Biang) dalam novel Galau Putri Calon Arang,  adalah adik perempuan dan ibu kandung Airlangga—Raja Kahuripan dan sesuai dengan logika cerita, Calon Arang dan Ratna Manggali diusir dari Kerajaan. Calon Arang adalah mantan Ratu Bali di Kahuripan, namun suami dan anaknya Airlangga, mengusirnya dari Kerajaan dan menelantarkannya beserta putrinya. Itu sebabnya, Calon Arang menebar teluh untuk membalaskan dendam dan sakit hatinya. Dalam Cerita Calon Arang, Airlangga tidak memiliki hubungan keluarga dengan Calon Arang dan Ratna Manggali. Itu sebabnya, pembaca masih mengerutkan kening dan bingung mengapa Calon Arang begitu beringas.
Berdasarkan pendirian dan ucapan tokoh perempuan, Ratna Manggali dalam Galau Putri Calon Arang, sadar akan kedudukannya sebagai teman Ni Dyah. Ia tidak dapat tertawa cekikikan sebagai gadis remaja lagi karena di umurnya yang sudah matang, ia belum kunjung dilamar. Maka, ia pun menyibukkan diri dengan pekerjaan seperti merawat tetangganya yang sakit dan tabah meski banyak menelan cacian. “Aku telah berbuat durhaka padamu, Tu Biang. Aku tidak pantas berbahagia padahal Tu Biang mati karena penghianatanku.” (halaman 165-166). Calon Arang, harus terus melindungi Ratna Manggali, putrinya. Tidak ingin ada orang yang memaki dan membencinya. Calon Arang ingin agar Ratna Manggali segera menikah. Maka, Calon Arang pun menebar teluh kepada siapa pun yang mengganggu hidup mereka terutama Ratna, sebab banyak prajurit dari Kerajaan Kahuripan ingin menangkap mereka. “Sejak aku meninggalkan Bali, aku sudah tidak punya anak lelaki.” (halaman 112); “Wabah ini... kuciptakan untuk membalas sakit hati kita. Sayang sekali aku lupa, kau, Ratna, putriku, sifatmu tidak seperti aku. Kau lebih mirip ayahmu yang cinta damai. Kau tidak seperti Airlangga yang punya ambisi serupa denganku. Aku lupa itu sehingga tak sadar bahwa perbuatanku justru menyakiti hatimu, merampas kedamaianmu.” (halaman 166)
Dalam Cerita Calon Arang, Calon Arang begitu sayang pada Ratna. Galau juga ia karena tak kunjung ada lelaki yang ingin meminang putrinya—padahal umurnya sudah 25 tahun lebih. Calon Arang marah karena tidak banyak orang yang menyukainya. Dari murid-muridnya, ia banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah bibir karena tak kunjung diperisteri orang. Sifatnya yang jahat semakin tumbuh. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puas hatinya. “Ampun Sang Maha Pendeta. Sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan paduka tuan. Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba dan berilah hamba jalan pada budi yang luhur. Ya, Maha Pendeta segeralah paduka tuan menyucikan jiwa-raga hamba yang durhaka ini.” (halaman 82)
Apakah Femmy Syahrani dan Yulyana ingin membela kaumnya melalui teknik penceritaan serta memposisikan Ratna Manggali sebagai tokoh utama?


Penulis adalah mahasiswi semester VII Universitas HKBP Nommensen, Medan dan aktif bergiat di KSI-Medan.

SUMBER: ANALISA MINGGU, 21 DESEMBER 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar