PERAN SARJANA SASTRA DAN SARJANA
PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA INDONESIA
Oleh:
Rayona Tampubolon
Saat ini yang menjadi kegelisahan
kita (khususnya guru-guru bahasa dan sastra Indonesia) adalah berita yang
dimuat di harian KOMPAS, dalam rubrik “Pendidikan dan Kebudayaan” pada edisi 21
Desember 2013 dan 16 Januari 2014, perihal kedudukan Indonesia yang berada di urutan ke
64 dari 65 negara di dunia dalam hal membaca. Boleh dikatakan bahwa menurunnya
pendidikan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kelemahan anak-anak pada
usia 15 tahun dalam membaca dan memaknai teks yang dibaca.
Di dalam bahasa Indonesia, terdapat
empat aspek berbahasa yang saling berhubungan, yakni: keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Keterampilan
menyimak dan membaca adalah kegiatan yang bersifat reseptif sedangkan
keterampilan berbicara dan menulis adalah kegiatan yang bersifat produktif.
Seseorang dikatakan telah mampu berbicara apabila sudah sering menyimak dan
seseorang dikatakan mampu menulis apabila sudah menjadi pembaca yang baik.
Seturut dengan pernyataan Taufiq
Ismail yang mengatakan, sejarah peradapan manusia membuktikan bahwa bangsa yang
hebat ternyata masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Pada masa
penjajahan Belanda, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul
karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya sastra per
tahun. Selain itu, wajib membuat satu karangan per minggu, 18 karangan per
semester atau 36 karangan per tahun. Lalu, bagaimana dengan siswa sekarang ini?
Sebagai negara berkembang, Indonesia
agaknya “terikut-ikut” dengan negara maju. Hal ini dibuktikan dengan era
digital sekarang ini yang menyebabkan para siswa lebih menyibukkan diri dengan gadget dibandingkan di perpustakaan.
Padahal, negara maju memasuki era digital sesudah “lulus” dan gemar membaca.
Seperti ungkapan Taufiq Ismail,
siswa saat ini tidak diwajibkan membaca buku. Sementara siswa SMA di Amerika
Serikat diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, Jepang 15,
Brunei 7, Singapura dan Malaysia 6 dan Thailand 5.
***
Sarjana
Sastra
Jika
ditelisik saat ini, penulis serta pengkritik karya sastra di berbagai media,
kebanyakan adalah justru mereka yang tidak berkecimpung di dunia sastra.
Mirisnya, dari ungkapan, apresiasi serta kritikan yang diutarakan, seolah-olah
menyakinkan kita (pembaca) bahwa mereka lebih memahami karya sastra daripada mereka
yang berkecimpung di dunia sastra itu sendiri. Memang benar, bahwa sejatinya lebih
baik kita (pengkritik) terlebih dahulu menggeluti karya sastra sebelum membaca
berbagai metode dan pendekatan kritik sastra. Akan tetapi yang menjadi
persoalan adalah, di manakah peran sarjana sastra? Sudah kah melakukan
fungsinya sebagai orang yang benar-benar berkecimpung di dunia sastra?
Seperti yang diungkapkan oleh Budi
Darma dalam kumpulan Esei Sastra-nya “Solilokui”, bahwa salah satu fungsi dari
jurusan sastra Indonesia adalah dengan menulis resensi buku, mengadakan
peninjauan berkala mengenai karya sastra yang pernah diterbitkan, membandingkan
sebuah karya sastra dengan karya sastra lain dan sebagainya. Adakah memang
fungsi itu sudah benar-benar dijalankan?
Apabila fungsi ini tidak dijalankan
oleh para sarjana sastra, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib karya sastra
Indonesia ke depannya. Sebab sekarang ini, penulis karya sastra cukup banyak.
Padahal kritikus sastra—yang benar-benar mampu mengkritik karya sastra secara
objektif, tidak hanya melihat kelemahan dan kebaikan karya sastra, ataupun
hanya sekedar mengapresiasi, bisa dihitung jumlahnya.
Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Berkaitan dengan hal itu pula lah
menurut saya, guru-guru bahasa dan sastra Indonesia harus memotivasi serta
mendorong para siswa untuk gemar membaca dan menulis. Mengembalikan kembali
tradisi ketika Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda, yang mewajibkan
siswa membaca serta menulis karangan. Seharusnya menurut hemat saya, justru
karena Indonesia sudah merdeka lah, para siswa lebih “merdeka” lagi dalam membaca
dan menulis.
Guru-guru bahasa dan sastra
Indonesia, pada materi sastra misalnya, mengambil tindakan memperkenalkan karya
sastra yang bermutu (yang bukan itu-itu saja), memotivasi semua siswa agar
gemar membaca dan menulis, mendorong siswa untuk meluangkan waktu membaca karya
sastra serta memberitahukan apa tujuan serta manfaat yang akan mereka peroleh
apabila gemar membaca dan menulis.
Seperti ungkapan Taufiq Ismail, rendahnya
minat membaca dan menulis siswa akan merisaukan kalangan sastrawan. Selain itu,
pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia terlalu menekankan pada tata bahasa.
Padahal di negara-negara lain, para guru lebih mendorong siswa untuk aktif
membaca dan membuat tulisan.
Jika para sarjana sastra dan sarjana
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sudah benar-benar menjalankan fungsinya
masing-masing dengan baik, maka pendidikan di Indonesia terutama dalam hal
membaca dan menulis akan membaik. Dalam hal ini, saya tidak mengatakan bahwa
yang menjadi kritikus sastra hanyalah sarjana sastra, tetapi juga sarjana
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab keduanya, sama-sama mengambil
mata kuliah sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra.
Namun,
yang menjadi persoalan adalah, apakah memang budaya membaca dan menulis sudah ditanamkan
terlebih dahulu pada diri sarjana sastra dan sarjana pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia itu sendiri?
Penulis adalah mahasiswi semester
VIII; FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UHN--Medan dan aktif bergiat di
KSI-Medan
SUMBER: ANALISA MINGGU, 15 MARET 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar