Senin, 18 Mei 2015

ESAI SASTRA

PERAN SARJANA SASTRA DAN SARJANA PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA INDONESIA

Oleh: Rayona Tampubolon

            Saat ini yang menjadi kegelisahan kita (khususnya guru-guru bahasa dan sastra Indonesia) adalah berita yang dimuat di harian KOMPAS, dalam rubrik “Pendidikan dan Kebudayaan” pada edisi 21 Desember 2013 dan 16 Januari 2014, perihal  kedudukan Indonesia yang berada di urutan ke 64 dari 65 negara di dunia dalam hal membaca. Boleh dikatakan bahwa menurunnya pendidikan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kelemahan anak-anak pada usia 15 tahun dalam membaca dan memaknai teks yang dibaca.
            Di dalam bahasa Indonesia, terdapat empat aspek berbahasa yang saling berhubungan, yakni: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Keterampilan menyimak dan membaca adalah kegiatan yang bersifat reseptif sedangkan keterampilan berbicara dan menulis adalah kegiatan yang bersifat produktif. Seseorang dikatakan telah mampu berbicara apabila sudah sering menyimak dan seseorang dikatakan mampu menulis apabila sudah menjadi pembaca yang baik.
            Seturut dengan pernyataan Taufiq Ismail yang mengatakan, sejarah peradapan manusia membuktikan bahwa bangsa yang hebat ternyata masyarakatnya memiliki minat baca yang tinggi. Pada masa penjajahan Belanda, siswa AMS-B (setingkat SMA) diwajibkan membaca 15 judul karya sastra per tahun, sedangkan siswa AMS-A membaca 25 karya sastra per tahun. Selain itu, wajib membuat satu karangan per minggu, 18 karangan per semester atau 36 karangan per tahun. Lalu, bagaimana dengan siswa sekarang ini?
            Sebagai negara berkembang, Indonesia agaknya “terikut-ikut” dengan negara maju. Hal ini dibuktikan dengan era digital sekarang ini yang menyebabkan para siswa lebih menyibukkan diri dengan gadget dibandingkan di perpustakaan. Padahal, negara maju memasuki era digital sesudah “lulus” dan gemar membaca.
            Seperti ungkapan Taufiq Ismail, siswa saat ini tidak diwajibkan membaca buku. Sementara siswa SMA di Amerika Serikat diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun, Jepang 15, Brunei 7, Singapura dan Malaysia 6 dan Thailand 5.
            ***
            Apakah yang menjadi peran sarjana sastra dan sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia?

            Sarjana Sastra
            Jika ditelisik saat ini, penulis serta pengkritik karya sastra di berbagai media, kebanyakan adalah justru mereka yang tidak berkecimpung di dunia sastra. Mirisnya, dari ungkapan, apresiasi serta kritikan yang diutarakan, seolah-olah menyakinkan kita (pembaca) bahwa mereka lebih memahami karya sastra daripada mereka yang berkecimpung di dunia sastra itu sendiri. Memang benar, bahwa sejatinya lebih baik kita (pengkritik) terlebih dahulu menggeluti karya sastra sebelum membaca berbagai metode dan pendekatan kritik sastra. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah, di manakah peran sarjana sastra? Sudah kah melakukan fungsinya sebagai orang yang benar-benar berkecimpung di dunia sastra?
            Seperti yang diungkapkan oleh Budi Darma dalam kumpulan Esei Sastra-nya “Solilokui”, bahwa salah satu fungsi dari jurusan sastra Indonesia adalah dengan menulis resensi buku, mengadakan peninjauan berkala mengenai karya sastra yang pernah diterbitkan, membandingkan sebuah karya sastra dengan karya sastra lain dan sebagainya. Adakah memang fungsi itu sudah benar-benar dijalankan?
            Apabila fungsi ini tidak dijalankan oleh para sarjana sastra, tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib karya sastra Indonesia ke depannya. Sebab sekarang ini, penulis karya sastra cukup banyak. Padahal kritikus sastra—yang benar-benar mampu mengkritik karya sastra secara objektif, tidak hanya melihat kelemahan dan kebaikan karya sastra, ataupun hanya sekedar mengapresiasi, bisa dihitung jumlahnya.
            Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
            Berkaitan dengan hal itu pula lah menurut saya, guru-guru bahasa dan sastra Indonesia harus memotivasi serta mendorong para siswa untuk gemar membaca dan menulis. Mengembalikan kembali tradisi ketika Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda, yang mewajibkan siswa membaca serta menulis karangan. Seharusnya menurut hemat saya, justru karena Indonesia sudah merdeka lah, para siswa lebih “merdeka” lagi dalam membaca dan menulis.
            Guru-guru bahasa dan sastra Indonesia, pada materi sastra misalnya, mengambil tindakan memperkenalkan karya sastra yang bermutu (yang bukan itu-itu saja), memotivasi semua siswa agar gemar membaca dan menulis, mendorong siswa untuk meluangkan waktu membaca karya sastra serta memberitahukan apa tujuan serta manfaat yang akan mereka peroleh apabila gemar membaca dan menulis.
            Seperti ungkapan Taufiq Ismail, rendahnya minat membaca dan menulis siswa akan merisaukan kalangan sastrawan. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia terlalu menekankan pada tata bahasa. Padahal di negara-negara lain, para guru lebih mendorong siswa untuk aktif membaca dan membuat tulisan.
            Jika para sarjana sastra dan sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sudah benar-benar menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, maka pendidikan di Indonesia terutama dalam hal membaca dan menulis akan membaik. Dalam hal ini, saya tidak mengatakan bahwa yang menjadi kritikus sastra hanyalah sarjana sastra, tetapi juga sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab keduanya, sama-sama mengambil mata kuliah sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra.
Namun, yang menjadi persoalan adalah, apakah memang budaya membaca dan menulis sudah ditanamkan terlebih dahulu pada diri sarjana sastra dan sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia itu sendiri?

Penulis adalah mahasiswi semester VIII; FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UHN--Medan dan aktif bergiat di KSI-Medan


 SUMBER: ANALISA MINGGU, 15 MARET 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar