Resensi Buku____________________________________________
MENGUAK RAHASIA DI BALIK LUKISAN NABILA
Oleh:
Rayona Tampubolon
Judul : Misteri Lukisan Nabila
Penulis : Sihar Ramses Simatupang
Tebal : 188 halaman
Penerbit : Nuansa Cendekia
Cetakan : I, November 2012
Kategori Buku : Novel
ISBN : 978-602-8394-92-5
Harga : Rp.36.000;
**
Saat takdir menghampiri, mampukah
manusia menghindari samsaranya? Samsara adalah lingkaran kehidupan
yang berkesinambungan dan tidak terputuskan. Tiada awal. Tiada akhir. Takdir,
hidup, mati, dan jodoh adalah… samsara. (“Samsara”
:
Zara Zettira)
Novel
Misteri Lukisan Nabila ini mengingatkan saya dengan novel Pram yang berjudul “Bukan
Pasar Malam”—yaitu seorang pejuang yang rela menjadi budak (murid
Belanda). Seorang guru yang gigih dan tanpa pamrih. Seorang guru pasca
kemerdekaan yang tidak mendapat gaji. Ironisnya, ketika guru tersebut mengalami
penyakit TBC, tidak ada yang mau
melayaninya dengan baik. Ini membuktikan sangat gampang melupakan kebajikan dan
perjuangan seseorang di Negeri ini.
Barangkali
inilah alasan Sihar menulis novel ini. Secara halus Sihar mengingatkan kita akan
orang-orang yang telah berjuang di Negeri ini –tentang para aktivis tahun 1998
yang tidak jelas keberadaannya. Dengan asumsi
agar manusia tidak hanya memikirkan diri sendiri—kesuksesan—ketenaran dan
menganggap dirinya sendiri paling berkuasa atas orang lain.
Apa
yang menarik dalam “Misteri Lukisan Nabila” ini? Novel ini terdiri dari 34 Bab. Dan
setiap Bab novel ini hanya terdiri dari 3-5 lembar. Cukup singkat, tapi ini
merupakan gaya Sihar memaksa pembaca untuk menyelesaikan novelnya hingga tuntas
dan Sihar mampu menghindari kejenuhan pembacanya, sehingga pembaca akan
bersemangat dan tak sabar untuk segera menuntaskannya.
Plot
berdasarkan kriteria jumlah, novel ini termasuk ke dalam plot tunggal. Sebab
tokoh yang dibahas dari awal hingga akhir cerita adalah Nabila Pasha dan Bentar
Armadia serta perjalanan hidupnya, dilengkapi dengan permasalahan dan konflik
yang dialaminya. Sedangkan plot berdasarkan kriteria kepadatan, novel ini
termasuk ke dalam plot padat. Artinya, di samping cerita disajikan secara
cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat,
hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah
selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya. Antara peristiwa yang satu
dengan yang lain—yang sekadar fungsional tinggi—tak dapat dipisahkan atau
dihilangkan salah satunya. Jika hal itu dilakukan, kita sebagai pembaca akan
merasa kehilangan cerita, kurang dapat memahami hubungan sebab akibat, atau
bahkan kurang memahami cerita secara keseluruhan.
Akan
tetapi, novel yang berplot padat, sebagai konsekuensi ceritanya yang padat dan
cepat, akan kurang menampilkan adegan-adegan yang penyituasiannya
berkepanjangan. Hal itu disebabkan pelukisan keadaan atau penyituasian itu akan
mempunyai efek memperlambat cerita, atau paling tidak mengendorkan “ketegangan”
pembaca.
**
Mengenai
takdir, seperti yang diungkapkan oleh Albert Enstein, bahwa “Tuhan tidak sedang bermain dadu. Dan tidak
ada yang serba kebetulan di dunia ini.” Bentar Armadia seorang aktivis yang
dipertemukan dengan Nabila Pasha seorang pelukis, tentulah mempunyai tujuan.
Mereka akhirnya menjadi sepasang kekasih. Dalam sekilas, pembaca pasti akan
menganggap bahwa novel ini hanya menggambarkan dan menceritakan
percintaan—kegalauan serta getir dan kerinduan Nabila terhadap Bentar
kekasihnya yang hilang entah ke mana. Akan tetapi novel ini banyak menyiratkan pesan,
terlebih pada Nabila yang seorang pelukis mampu menguak rahasia di balik
lukisannya, meski banyak yang menganggap karyanya itu hanya imajinasi Nabila
semata. Seni itu sangat jujur. Artinya seni—seni apapun itu, dapat menguak
segala peristiwa bahkan yang telah terlupakan.
“Beberapa waktu, resmilah dia ditunjuk sebagai
aktivis yang fungsi dan perannya sebagai salah satu konseptor kegiatan di
organisasi ini. Persis kisah tentang anak muda yang menjadi aktivis dalam novel
Maxim Gorki, si pengarang Rusia, kelahiran pelabuhan kecil di desa Taganrog,
Ukraina, 130 tahun yang silam itu. Bentar pun larut dalam aktivitas politiknya.
Larut dengan begitu alamiah.” (Halm.38)
Penggalan
itu dikutip pada halaman 38 yang menggambarkan sebuah takdir yang tak dapat
dihindari. Bukan sebuah kebetulan Bentar Armadia mendapatkan novel itu dari
Bapaknya dan langsung menyukai novel Maxim Gorki yang tokohnya sama seperti
dirinya seorang pejuang yang kemudian didukung oleh ibunya, meski getir selalu
menghantui. Jalan hidup mereka juga sama dan itu adalah takdir—takdir yang
kemudian harus memisahkannya dengan orang-orang yang tulus mencintainya.
Adanya
plausibilitas-plausibilitas imajiner yang membuat pembaca ragu ketika membaca
novel ini, mampu dibenarkan pengarang sesuai dengan logika cerita. Siksaan yang
lebih menyengat dari puluhan atau ratusan tawon. Lebih mengerikan dari satu
bulan kesemutan—dialami Bentar Armadia ketika disiksa habis-habisan. Serta lukisan
Nabila Pasha yang dapat melukiskan semua kejadian yang dialami Bentar
Armadia—kekasihnya selama disiksa oleh suaminya Feri beserta teman lainnya
secara detail berdasarkan latar kejadian.
Kecintaan
dan rasa kagum Sihar terhadap para aktivis terbukti pada karya-karyanya.
Seperti novel sebelumnya “Bulan Lebam di Tepian Toba” yang
juga melukiskan seorang mahasiswa demonstran yang melarikan diri ke kampung (Toba) karena dia sedang dicari-cari
beserta teman-temannya yang lain. Namun pada novel kali ini, Sihar mampu
memutar memori pembaca untuk mengingat para aktivis yang tak jelas
keberadaannya—bagaimana nasib orang tuanya, orang-orang yang mencintainya.
Serta kematian yang tak dikehendaki.
***
Penulis
aktif bergiat di KSI—Medan, dan merupakan Mahasiswa semester 4 Universitas HKBP Nommensen—Medan.
SUMBER ANALISA, MINGGU, 16 JUNI 2013

Membaca resensi ini, aku menjadi sangat ingin utk segera membaca dan memiliki "Misteri Lukisan Nabila". Karya-karya Ito Sihar Ramses Simatupang memang selalu menghentak...(~_~)
BalasHapusIndah...:-)
Wah, mantap tuh! :D
BalasHapusMakasih ya, Kak.. :3