Minggu, 04 September 2016

CERPEN

RENA DAN PEREMPUAN MISTERIUS
Oleh: Rayona Tampubolon




            Jalan masuk ke gang Bulan tampak lengang, padahal masih pukul tujuh malam. Rena yang baru pulang mengajar, terus melangkah—meski sesekali air matanya bercucuran. Ia teringat pesan terakhir dari kekasihnya—yang amat sangat menghunjamnya. Tak ada orang yang tahu atau seolah tahu bagaimana getir yang ia rasa, kecuali perempuan yang selalu duduk di bawah pohon, di dekat rumahnya.
            Sesampai di rumah kontrakan, Rena menekuni ritualnya, menulis. Ia mematikan lampu dan menyalakan lilin. Rena tak sadar apa yang ditulisinya, ia hanya mengikuti ke mana pena membawa imajinya. Tiba-tiba, pada kalimat terakhir, ia mendapati dirinya menuliskan tentang sosok perempuan misterius itu.
            Perempuan di bawah pohon itu selalu membuatnya penasaran. Setiap kali Rena pulang, perempuan itu menatapnya tajam—seolah marah padanya. Anehnya, tatapan itu selalu terjadi ketika Rena gamang—mengingat kekasihnya.
            “Rena, sudahlah. Hubungan ini tidak perlu lagi kita lanjut. Lagi pula orangtuamu tidak menerimaku dengan pekerjaanku sebagai pemusik.”
            Rena hanya menggigit bibir ketika membaca ulang pesan terakhir dari kekasihnya itu.
***
            Pagi, sekitar pukul tujuh, Rena sengaja berangkat cepat ke sekolah. Ia sengaja agar sempat membaca di perpustakaan. Di sana, ia bertemu Tio, sahabatnya.
            “Ren, cepat kali kau datang? Bukannya jadwal mengajarmu hari ini siang ya?”
            “Iya, aku ada urusan nih,” tukasnya.
            “Kita makan di kantin dulu, gimana? Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si....”
            Belum lagi Tio menyelesaikan kalimatnya, Rena buru-buru memotongnya dengan wajah masam. “Sudahlah, Tio. Jangan ingatkan lagi aku padanya.”
            Tio terdiam, merasa bersalah. Sebenarnya dia tahu bagaimana kegamangan yang Rena rasakan, meski tidak sedetail mungkin. Dari pertemuan Rena dengan kekasihnya pada hari terakhir—Tio yakin bahwa mereka tidak akan bersama karena lelaki itu sudah dijodohkan dengan parempuan pilihan ibunya. Alasan lain, orang tua Rena pasti tidak akan memberi restu. Lelaki itu seorang pemusik. Bagi orang tua Rena, pekerjaan itu kurang menjanjikan.
            Ah, banyak tanya berkecamuk di kepala Tio, tapi ia menyimpannya sendiri. Tak berani ia menanyakan langsung kepada Rena. Besok atau lusa akan ia tanyakan, atau barangkali tidak akan pernah.
***
            Rena tidak pernah ada niat mencampuri urusan orang lain, tapi tidak dengan perempuan misterius itu. Ia heran dan mencari-cari ke mana gerangan ia  pergi. Ke mana dia pergi? Padahal biasanya dia selalu duduk di sini, di bawah pohon ini, batinnya.
            Setelah melangkah seratus meter dari pohon itu, Rena mendapati sesosok perempuan duduk di dekat paret busuk. Wajahnya tampak legam dan semakin kering. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatapi bunga layu yang ada di tangan kanannya. Sesekali dia menjerit. Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran Rena di belakangnya. Dengan gontai, dia berusaha berdiri sambil menarik celananya, lalu pergi.
            Rena sempat mencium aroma tubuh perempuan itu, pesing dan busuk. Ternyata malam itu adalah pertemuan terakhir mereka. Setelahnya, perempuan yang beberapa hari berikutnya diketahui bernama Siti, menghilang selama satu bulan.
            Rena merampungkan tulisannya dan menjadikan perempuan misterius itu sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Lalu, karena dia menghilang, Rena membunuh perempuan itu dalam ceritanya. Rena amat menikmati ritual menulisnya—karena menulis adalah terapi akan depresi yang dideritanya.
***
            Pagi hari, Rena mendapat jadwal mengajar. Wajahnya tampak ceria karena mendapat kabar bahwa salah satu dari ketiga cerita pendeknya diterima oleh majalah Mandasari dan akan dimuat satu minggu lagi. Ia merasa sangat bersyukur, perempuan misterius itu menjadi inspirasinya.
            Setelah mengunci gerbang rumah kontrakannya, sontak ia kaget. Perempuan yang sudah dibunuh dalam ceritanya—tiba-tiba hadir di depan gerbangnya dengan bunga layu di tangan kanannya. Perempuan itu mengepal pasir di tangan kirinya dan  kemudian melemparinya ke arah Rena.
            Rena masih tercengang, menatapi tingkah perempuan itu.
            “Bryan!! Bryan!! Bryan....,” teriaknya
            Rena masih saja tercengang. Ia seolah tak sadar dengan keberadaan perempuan yang ada di depannya. Benar saja, ini kali pertama perempuan itu berbicara dengan jelas dan lantang.
            “Bryan! Bryan! Bryan...,” teriaknya lagi.
            Rena berlari meninggalkan perempuan itu—meski ia tahu, ia tidak akan sanggup mengejar. Segera ia menaiki angkot—dan pasrah dibawa ke mana. Bryan, apa hubunganmu dengan perempuan itu? Lagipula, mengapa ia melempariku? Mengapa ketika pertama kali ia kudengar berbicara, namamu yang disebut? Gerutunya.
***
            Dengan pertanyaan yang kian memburunya, Rena memutuskan pulang ke kontrakan. Ia ingin membakar catatan mengenai perempuan itu. Niat Rena mengabadikan perempuan itu dalam tulisannya pupus sudah. Apalagi paragraf terakhir yang membuat Rena merinding ketika dibaca ulang.
            Gemetar, Rena membakarnya. Tiba-tiba pintunya diketuk pelan. Hati Rena berkecamuk antara membuka pintu atau membakar habis catatannya.
            Antara sadar atau tidak, ia melihat perempuan misterius itu di depan pintunya. Setengah berbisik ia berucap, “mana cerita yang kautulis itu? Aku ingin membacanya.”
            Rena menelan ludah. Tubuhnya kaku dan keringat dingin. Tangannya kian gemetar. Ia pasrah perempuan itu mengobrak-abrik kamarnya. []
           

 SUMBER: Analisa (Taman Remaja Pelajar) Minggu, 28 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar