RENA DAN PEREMPUAN MISTERIUS
Oleh: Rayona Tampubolon
Jalan masuk ke gang Bulan tampak
lengang, padahal masih pukul tujuh malam. Rena yang baru pulang mengajar, terus melangkah—meski sesekali air
matanya bercucuran. Ia teringat pesan terakhir dari kekasihnya—yang amat sangat
menghunjamnya. Tak ada orang yang tahu atau seolah tahu bagaimana getir yang ia
rasa, kecuali perempuan yang selalu duduk di bawah pohon, di dekat rumahnya.
Sesampai di rumah kontrakan, Rena menekuni
ritualnya, menulis. Ia mematikan lampu dan menyalakan lilin. Rena tak sadar apa
yang ditulisinya, ia hanya mengikuti ke mana pena membawa imajinya. Tiba-tiba,
pada kalimat terakhir, ia mendapati dirinya menuliskan tentang sosok perempuan misterius
itu.
Perempuan di bawah pohon itu selalu
membuatnya penasaran. Setiap kali Rena pulang, perempuan itu menatapnya
tajam—seolah marah padanya. Anehnya, tatapan itu selalu terjadi ketika Rena
gamang—mengingat kekasihnya.
“Rena, sudahlah. Hubungan ini tidak
perlu lagi kita lanjut. Lagi pula orangtuamu tidak menerimaku dengan
pekerjaanku sebagai pemusik.”
Rena hanya menggigit bibir ketika
membaca ulang pesan terakhir dari kekasihnya itu.
Pagi, sekitar pukul tujuh, Rena
sengaja berangkat cepat ke sekolah. Ia sengaja agar sempat membaca di
perpustakaan. Di sana, ia bertemu Tio, sahabatnya.
“Ren, cepat kali kau datang?
Bukannya jadwal mengajarmu hari ini siang ya?”
“Iya, aku ada urusan nih,” tukasnya.
“Kita makan di kantin dulu, gimana?
Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si....”
Belum lagi Tio menyelesaikan
kalimatnya, Rena buru-buru memotongnya dengan wajah masam. “Sudahlah, Tio.
Jangan ingatkan lagi aku padanya.”
Tio terdiam, merasa bersalah.
Sebenarnya dia tahu bagaimana kegamangan yang Rena rasakan, meski tidak
sedetail mungkin. Dari pertemuan Rena dengan kekasihnya pada hari terakhir—Tio
yakin bahwa mereka tidak akan bersama karena lelaki itu sudah dijodohkan dengan
parempuan pilihan ibunya. Alasan lain, orang tua Rena pasti tidak akan memberi
restu. Lelaki itu seorang pemusik. Bagi orang tua Rena, pekerjaan itu kurang
menjanjikan.
Ah, banyak tanya berkecamuk di
kepala Tio, tapi ia menyimpannya sendiri. Tak berani ia menanyakan langsung
kepada Rena. Besok atau lusa akan ia tanyakan, atau barangkali tidak akan
pernah.
***
Rena tidak pernah ada niat
mencampuri urusan orang lain, tapi tidak dengan perempuan misterius itu. Ia
heran dan mencari-cari ke mana gerangan ia
pergi. Ke mana dia pergi? Padahal
biasanya dia selalu duduk di sini, di bawah pohon ini, batinnya.
Setelah melangkah seratus meter dari
pohon itu, Rena mendapati sesosok perempuan duduk di dekat paret busuk.
Wajahnya tampak legam dan semakin kering. Perempuan itu menggeleng-gelengkan
kepalanya sembari menatapi bunga layu yang ada di tangan kanannya. Sesekali dia
menjerit. Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran Rena di belakangnya. Dengan gontai,
dia berusaha berdiri sambil menarik celananya, lalu pergi.
Rena sempat mencium aroma tubuh
perempuan itu, pesing dan busuk. Ternyata malam itu adalah pertemuan terakhir
mereka. Setelahnya, perempuan yang beberapa hari berikutnya diketahui bernama Siti,
menghilang selama satu bulan.
Rena merampungkan tulisannya dan
menjadikan perempuan misterius itu sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Lalu,
karena dia menghilang, Rena membunuh perempuan itu dalam ceritanya. Rena amat
menikmati ritual menulisnya—karena menulis adalah terapi akan depresi yang
dideritanya.
***
Pagi hari, Rena mendapat jadwal
mengajar. Wajahnya tampak ceria karena mendapat kabar bahwa salah satu dari
ketiga cerita pendeknya diterima oleh majalah Mandasari dan akan dimuat satu
minggu lagi. Ia merasa sangat bersyukur, perempuan misterius itu menjadi
inspirasinya.
Setelah mengunci gerbang rumah
kontrakannya, sontak ia kaget. Perempuan yang sudah dibunuh dalam
ceritanya—tiba-tiba hadir di depan gerbangnya dengan bunga layu di tangan
kanannya. Perempuan itu mengepal pasir di tangan kirinya dan kemudian melemparinya ke arah Rena.
Rena masih tercengang, menatapi
tingkah perempuan itu.
“Bryan!! Bryan!! Bryan....,”
teriaknya
Rena masih saja tercengang. Ia
seolah tak sadar dengan keberadaan perempuan yang ada di depannya. Benar saja,
ini kali pertama perempuan itu berbicara dengan jelas dan lantang.
“Bryan! Bryan! Bryan...,” teriaknya
lagi.
Rena berlari meninggalkan perempuan
itu—meski ia tahu, ia tidak akan sanggup mengejar. Segera ia menaiki angkot—dan
pasrah dibawa ke mana. Bryan, apa
hubunganmu dengan perempuan itu? Lagipula, mengapa ia melempariku? Mengapa
ketika pertama kali ia kudengar berbicara, namamu yang disebut? Gerutunya.
***
Dengan pertanyaan yang kian
memburunya, Rena memutuskan pulang ke kontrakan. Ia ingin membakar catatan
mengenai perempuan itu. Niat Rena mengabadikan perempuan itu dalam tulisannya
pupus sudah. Apalagi paragraf terakhir yang membuat Rena merinding ketika
dibaca ulang.
Gemetar, Rena membakarnya. Tiba-tiba
pintunya diketuk pelan. Hati Rena berkecamuk antara membuka pintu atau membakar
habis catatannya.
Antara sadar atau tidak, ia melihat
perempuan misterius itu di depan pintunya. Setengah berbisik ia berucap, “mana
cerita yang kautulis itu? Aku ingin membacanya.”
Rena menelan ludah. Tubuhnya kaku
dan keringat dingin. Tangannya kian gemetar. Ia pasrah perempuan itu
mengobrak-abrik kamarnya. []
SUMBER: Analisa (Taman Remaja Pelajar) Minggu, 28 Agustus 2016

Tidak ada komentar:
Posting Komentar