Sabtu, 10 Oktober 2015

ESAI SASTRA

GELIAT SASTRA DI DUNIA MAYA

Oleh: Rayona Tampubolon


            Sastra di dunia maya atau sebut saja sastra cyber telah muncul di Indonesia sejak tahun 90-an, berawal dari terbitnya antologi puisi Graffiti Gratitude pada Mei 2001. Kehadiran satra cyber ini pun cukup diapresiasi oleh berbagai penulis Indonesia. Saya mengatakan demikian karena tidak sedikitnya penulis-penulis di dunia maya yang cukup aktif mengirimkan tulisan dan kritiknya di laman cybersastra, komunitas-komunitas sastra di facebook dan di twitter contohnya grup Sastra Minggu, komunitas penyair Indonesia-Malaysia, grup penulis puisi Haiku dan sebagainya. Tulisan-tulisan yang di”bagikan” pun cukup banyak, baik panjang dan pendek beserta apresiasi-apresiasi tentang tulisan dari penulis lain. Akan tetapi, meskipun cukup diapresiasi, geliat sastra di dunia maya ternyata menimbulkan polemik: pro dan kontra. Ada yang menganggap kehadiran sastra cyber memberi dampak positif dan apa pula yang menganggap kehadiran sastra cyber memberi dampak negatif bagi khasanah sejarah sastra Indonesia.
            Dampak Positif dan Negatif Hadirnya Sastra Cyber
            Sastra cyber atau sastra “maya” adalah sastra yang menggunakan internet sebagai mediumnya. Jika selama ini sastra menggunakan koran, buku dan majalah sebagai mediumnya, maka seiring dengan perkembangan teknologi, internet cukup fenomenal digunakan oleh penulis sebagai medianya untuk menulis, menuangkan kreatifitasnya seperti di blog, laman sastra dan grup komunitas-komunitas sastra di facebook.

            Prof. Irwan Abu Bakar seorang penulis asal Malaysia ketika menyampaikan materinya dalam acara seminar yang bertajuk “Perkembangan Sastra Cyber di Indonesia dan Malaysia” di UMSU beberapa hari lalu mengatakan, “Cyber adalah medium. Mari kita berkarya di dunia cyber. Siapa bilang sastra cyber tidak berkualitas? Kita akan kumpulkan karya-karya bermutu dari cyber dan akan kita bukukan.”
            Selain itu, Prof. Irwan juga mengatakan bahwa tidak selamanya puisi-puisi yang terbit di media cetak koran lebih berkualitas. Menurutnya, yang menyeleksi karya-karya sastra di media cetak koran adalah seorang redaktur atau editor yang juga adalah seorang manusia yang bahkan bukanlah seorang ahli sastra. Jadi jika berhubungan dengan kualitas atau mutu, media cetak belum tentu lebih baik dari media cyber dan juga bukanlah penentu layak atau tidak layaknya suatu karya dikatakan sastra atau tidak.
            Sekadar membagi pengalaman, Prof. Irwan juga menyampaikan bahwa awal pertama ia menulis adalah di dunia maya, bukan di media cetak, meskipun selanjutnya karya-karyanya dibukukan. Selanjutnya, ia juga memaparkan bahwa karya sastra di dunia maya (cyber) jika dipindahkan ke media cetak, bukanlah karya cyber yang sebenarnya. Sebab tulisan-tulisan yang dimuat di internet mempunyai animasi yang menarik dan mempunyai banyak laman atau ruang seperti ruang puisi, ruang cerpen dan ruang novel.
            Berbeda dengan tanggapan Prof. Irwan, Yulhasni yang juga seorang pemateri di acara seminar tersebut mengatakan bahwa sastra cyber tidak akan bertahan lama, waktu yang akan menentukan seberapa lama sastra di dunia maya akan bertahan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa dengan hadirnya sastra cyber akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan wacana-wacana yang tak akan pernah habisnya untuk diperdebatkan.            
            Kehadiran sastra cyber juga sebenarnya tidak boleh langsung ditolak atau tidak diterima. Hadirnya sastra cyber barangtentu adalah karena terbatasnya media yang dapat menampung karya-karya sastra para penulis. Lain dari itu, setiap koran dan majalah mempunyai kriteria atau corak dan warnanya tersendiri, sesuai dengan keinginan koran dan redakturnya. Maka para penulis tidak bebas berkreatifitas, tidak bebas menuangkan pemikiran-pemikirannya. Media cetak juga acapkali menggolong-golongkan seorang penulis layak atau tidak layak dikatakan seorang sastrawan atau tidak. Karyanya berkualitas atau tidak. Padahal esksistensi dari karya sastra, bermutunya sebuah karya sastra dilihat dari apresiasi pembaca karya sastra serta ahli-ahli sastra, kritikus sastra yang menimbang karya sastra.
            Dan tak bisa dipungkiri juga bahwa seseorang yang berhasil menembus koran Kompas, Media Indonesia, Majalah Horison dan media cetak besar lainnya, telah dikatakan bahwa ia adalah sastrawan Indonesia. Padahal belum tentu, sebab semua tulisan berada di bawah naungan seorang redaktur.
            Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah hadirnya sastra cyber akan meningkatkan atau akan semakin mempermudah seseorang untuk membaca semua karya sastra di Indonesia maupun di luar negeri. Dan tentu saja, dengan mudahnya membaca karya sastra dari internet akan semakin memperbesar peluang untuk menduplikasi karya sastra karena belum adanya Undang-undang yang konkrit mengenai hal tersebut. Selain itu, apakah penulis-penulis di media sastra cyber akan mendapat honorarium seperti halnya dengan penulis-penulis di media cetak?   
            Banyak hal yang akan diperdebatkan. Sastra cyber masih belum sepenuhnya disambut baik oleh semua sastrawan-sastrawan Indonesia, khususnya sastrawan senior. Meskipun kelak akan disambut baik, agaknya harus ada badan-badan khusus yang mengelola atau memberi perhatian khusus tentang sastra di dunia maya. Adanya seleksi ketat yang diberdayakan agar tidak sembarang karya yang diterima. Lain dari itu, harus tahu bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk memasyarakatkan sastra cyber, sebab seperti ungkap Teja Purnama, sastra di media cetak koran terbatas. Oleh sebabnya internet dapat dilakukan sebagai media untuk membagikan tulisan yang telah terbit di media cetak koran tersebut agar dapat dibaca semua orang. Namun, yang menggunakan internet untuk membaca karya sastra pun masih terbatas.
            Karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan suatu bangsa. Kebudayaan pun sifatnya dapat berkembang atau bergeser seiring dengan perkembangan zaman. Saat ini, kita tengah berada di era cyber. Menjadi persoalan adalah, apakah dengan hadirnya sastra cyber akan mendukung masyarakat Indonesia untuk membaca karya sastra?


Penulis adalah alumni FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UHN--Medan dan aktif bergiat di KSI-Medan.
Sumber: Analisa Minggu, 27 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar