PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH
MELALUI KARYA SASTRA
Oleh: Rayona Tampubolon
Tahun 2011, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menyatakan bahwa masih tersisa 746 bahasa daerah di Indonesia.
Diperkirakan, akhir abad ke-21, hanya 75 bahasa daerah yang akan bertahan.
Apabila hanya 75 bahasa yang akan bertahan, bagaimanakah cara untuk
mempertahankan bahasa daerah yang sudah mulai mengalami pergeseran?
UNESCO per tanggal 17 November 1999
telah menetapkan bahwa setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari
Internasional Bahasa Ibu. Seturut dengan pendapat Saut Poltak Tambunan (SPT) di
harian Kompas 28 Februari 2015, mengatakan bahwa di Indonesia gaung Hari Bahasa
Ibu tak terdengar, padahal sebagian besar anak bangsa Indonesia mengenal bahasa
daerah sebagai bahasa ibu. Hal ini menjadi peringatan bagi setiap pemangku
kepentingan budaya, sebab pelajaran bahasa daerah terpinggirkan dari kurikulum
sekolah dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu sudah digantikan dengan bahasa
Indonesia berdialek kedaerahan. Anak-anak sejak dini telah dibiasakan berbahasa
Indonesia dengan alasan, jika kelak merantau, bahasa yang diperlukan adalah
bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Di Sumatera Utara, majalah atau
media cetak yang menggunakan bahasa daerah belum ada. Di pulau Jawa, majalah
berbahasa daerah sangat diminati dan dicintai oleh masyarakatnya. Bahkan di
pulau Jawa, pemerintah daerah melalui peraturan daerah, mewajibkan instansi
pemerintah menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Sekali dalam
seminggu, bahasa Jawa pun sudah diharuskan digunakan oleh para guru dan murid
sebagai bahasa di sekolah. Hal ini sebagai upaya untuk menanamkan kecintaan
bahasa daerah terhadap generasi muda serta upaya untuk menyelamatkan bahasa
Jawa dari pergeseran yang akan mengakibatkan kepunahan bahasa.
Menurut
sejumlah linguis, antara lain Grimes (2000), Landweer (2008) dan Lewis (2005),
mengemukakan beberapa faktor pendorong kecepatan kepunahan bahasa yakni: (1) kecilnya jumlah penutur, yaitu semakin kecil jumlah penutur suatu
bahasa, semakin cepatlah bahasa akan punah, (2) usia penutur, yaitu semakin tua usia penutur, katakanlah berusia
60-an ke atas, maka semakin cepatlah bahasa akan punah. Jika bahasa daerah
tidak dibiasakan untuk digunakan oleh kawula muda, tidaklah mungkin bahasa
daerah akan bertahan, (3) penggunaan
bahasa lain secara regular atau terus menerus dalam latar budaya yang beragam, yaitu jika penggunaan bahasa Indonesia
atau bahasa asing di lingkup masyarakat yang beragam katakanlah beragam suku,
bahasa daerah pastilah jauh dari perhatian dan tidak akan dipergunakan,
(4)
perasaan identitas etnik dan sikap
terhadap bahasanya secara umum, yaitu jika penutur suatu bahasa memiliki
sikap setia, bangga serta tahu menggunakan norma-norma bahasa secara baik dan
benar, maka bahasa tidak akan punah, tetapi jika tidak, bahasa akan mengalami
kepunahan, (5) kebijakan pemerintah,
yaitu jika pemerintah tidak membuat kebijakan yakni tidak menetapkan pembinaan
dan pelestarian bahasa daerah untuk digunakan dalam konteks tertentu dan bahasa
tersebut tidak digunakan dalam pendidikan, bahasa tersebut akan punah, (6) keberaksaraan, yaitu tulisan atau aksara
bahasa. Apabila bahasa daerah tertentu tidak memiliki aksara, kemungkinan besar
bahasa tersebut akan punah,
(7)
kebersastraan, yaitu jika bahasa
daerah tidak digunakan dalam bentuk karya sastra seperti prosa dan puisi,
bahasa daerah tersebut akan mengalami kepunahan, tetapi sebaliknya, jika bahasa
daerah digunakan dalam bentuk karya sastra, bahasa tersebut dipastikan tidak
akan punah, (8) kedinamisan para penutur
dalam membaca dan menulis sastra, yaitu jika bahasa daerah sudah digunakan
dalam bentuk karya sastra, tetapi para penutur bahasa tidak terus menerus
membaca dan menulis karyas sastra berbahasa daerah, bahasa tersebut akan
mengalami pergeseran yang mengakibatkan kepunahan.
Dari
kedelapan faktor pendorong kecepatan kepunahan bahasa (daerah) menurut sejumlah
linguis tersebut, poin yang paling ingin penulis suarakan adalah poin ketujuh
dan kedelapan sesuai dengan judul tulisan, yakni pemertahanan bahasa daerah
melalui karya sastra. Sudah sepatutnya para penulis khususnya di Sumatera Utara
mengambil peran untuk mempertahankan bahasa daerahnya masing-masing. Menulis
dan membaca karya sastra yang berbahasa daerah secara terus-menerus. Menggali
dan mengangkat budaya lokal sebagai tema dalam karya sastranya.
Sesuai
dengan ungkapan Teeuw (1984), mengatakan bahwa karya sastra lahir tidak dalam
kekosongan budaya. Artinya, karya sastra lahir dalam konteks budaya tertentu
dari seorang pengarang. Pengarang yang bersuku Batak, Jawa dan Betawi, akan
memengaruhi gaya kepenulisannya serta tema yang diangkat dalam karya sastranya,
seperti karakter tokoh, latar dan bahasa yang digunakan.
Saut
Poltak Tambunan (SPT) telah melakukan perannya sebagai seorang penulis bersuku
batak Toba. Sejak tahun 2012 hingga awal tahun 2015 telah menulis dan
menerbitkan enam buku sastra modern berbahasa batak Toba, dua di antaranya
adalah Mangongkal Holi (sekumpulan cerita
pendek) dan Mandera Na Metmet (novel).
Selama 27 tahun penyelenggaraan Penghargaan Sastra Rancage, Ajib Rosidi
mengumumkan bahwa bahasa batak Toba diikutsertakan dalam penghargaan tahun
2015.
Idris
Pasaribu pun telah melakukan perannya sebagai penulis bersuku batak Toba. Novel
terbarunya berjudul Mangalua yang
sudah dibedah pada hari Sabtu tanggal 20 Februari 2016 lalu di FIS UNIMED, sudah
tersebar di toko buku di seluruh Indonesia. Novel yang dibedah sehari sebelum
hari Internasional Bahasa Ibu itu sangat menggugah perhatian para akademisi,
praktisi dan generasi muda. Menurut Idris Pasaribu, setiap penulis perlu untuk
menggali (kembali) budaya lokal, sebab bahasa daerah saat ini sudah banyak yang
menggunakan bahasa serapan. Upaya itu perlu dilakukan untuk menghidupkan
kembali bahasa-bahasa yang sudah “hilang”. Pemertahanan bahasa adalah juga
pemertahanan budaya. Para penulis harus melakukan revitasilasi bahasa daerah, yakni usaha untuk menguatkan bahasa
yang masih hidup, tetapi kemungkinan akan mengalami pergeseran yang
mengakibatkan kepunahan.
Kedua sastrawan tersebut patutlah menjadi
contoh bagi para penulis lain agar mampu mengangkat budaya dan bahasa yang
dianutnya dalam karya-karya yang dituliskan. Seperti ungkapan Saut Poltak
Tambunan, beliau juga menulis puisi berbahasa daerah sambil mencoba menularkan
pencerahan kepada para penulis lain bahwa bahasa daerah, katakanlah bahasa
batak Toba sebagai bahasa ibunya, cukup indah untuk diapakan saja. (*)
Penulis
adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas HKBP
Nommensen-Medan.
Sumber: Analisa, Minggu 06 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar