Minggu, 13 Maret 2016

ESAI BAHASA DAN SASTRA

PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH
MELALUI KARYA SASTRA
Oleh: Rayona Tampubolon

            Tahun 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa masih tersisa 746 bahasa daerah di Indonesia. Diperkirakan, akhir abad ke-21, hanya 75 bahasa daerah yang akan bertahan. Apabila hanya 75 bahasa yang akan bertahan, bagaimanakah cara untuk mempertahankan bahasa daerah yang sudah mulai mengalami pergeseran?
            UNESCO per tanggal 17 November 1999 telah menetapkan bahwa setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu. Seturut dengan pendapat Saut Poltak Tambunan (SPT) di harian Kompas 28 Februari 2015, mengatakan bahwa di Indonesia gaung Hari Bahasa Ibu tak terdengar, padahal sebagian besar anak bangsa Indonesia mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Hal ini menjadi peringatan bagi setiap pemangku kepentingan budaya, sebab pelajaran bahasa daerah terpinggirkan dari kurikulum sekolah dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu sudah digantikan dengan bahasa Indonesia berdialek kedaerahan. Anak-anak sejak dini telah dibiasakan berbahasa Indonesia dengan alasan, jika kelak merantau, bahasa yang diperlukan adalah bahasa Indonesia dan bahasa asing.
            Di Sumatera Utara, majalah atau media cetak yang menggunakan bahasa daerah belum ada. Di pulau Jawa, majalah berbahasa daerah sangat diminati dan dicintai oleh masyarakatnya. Bahkan di pulau Jawa, pemerintah daerah melalui peraturan daerah, mewajibkan instansi pemerintah menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi. Sekali dalam seminggu, bahasa Jawa pun sudah diharuskan digunakan oleh para guru dan murid sebagai bahasa di sekolah. Hal ini sebagai upaya untuk menanamkan kecintaan bahasa daerah terhadap generasi muda serta upaya untuk menyelamatkan bahasa Jawa dari pergeseran yang akan mengakibatkan kepunahan bahasa.


Menurut sejumlah linguis, antara lain Grimes (2000), Landweer (2008) dan Lewis (2005), mengemukakan beberapa faktor pendorong kecepatan kepunahan  bahasa yakni: (1) kecilnya jumlah penutur, yaitu semakin kecil jumlah penutur suatu bahasa, semakin cepatlah bahasa akan punah, (2) usia penutur, yaitu semakin tua usia penutur, katakanlah berusia 60-an ke atas, maka semakin cepatlah bahasa akan punah. Jika bahasa daerah tidak dibiasakan untuk digunakan oleh kawula muda, tidaklah mungkin bahasa daerah akan bertahan, (3) penggunaan bahasa lain secara regular atau terus menerus dalam latar budaya yang beragam, yaitu jika penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa asing di lingkup masyarakat yang beragam katakanlah beragam suku, bahasa daerah pastilah jauh dari perhatian dan tidak akan dipergunakan,
(4) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum, yaitu jika penutur suatu bahasa memiliki sikap setia, bangga serta tahu menggunakan norma-norma bahasa secara baik dan benar, maka bahasa tidak akan punah, tetapi jika tidak, bahasa akan mengalami kepunahan, (5) kebijakan pemerintah, yaitu jika pemerintah tidak membuat kebijakan yakni tidak menetapkan pembinaan dan pelestarian bahasa daerah untuk digunakan dalam konteks tertentu dan bahasa tersebut tidak digunakan dalam pendidikan, bahasa tersebut akan punah, (6) keberaksaraan, yaitu tulisan atau aksara bahasa. Apabila bahasa daerah tertentu tidak memiliki aksara, kemungkinan besar bahasa tersebut akan punah,
(7) kebersastraan, yaitu jika bahasa daerah tidak digunakan dalam bentuk karya sastra seperti prosa dan puisi, bahasa daerah tersebut akan mengalami kepunahan, tetapi sebaliknya, jika bahasa daerah digunakan dalam bentuk karya sastra, bahasa tersebut dipastikan tidak akan punah, (8) kedinamisan para penutur dalam membaca dan menulis sastra, yaitu jika bahasa daerah sudah digunakan dalam bentuk karya sastra, tetapi para penutur bahasa tidak terus menerus membaca dan menulis karyas sastra berbahasa daerah, bahasa tersebut akan mengalami pergeseran yang mengakibatkan kepunahan.
Dari kedelapan faktor pendorong kecepatan kepunahan bahasa (daerah) menurut sejumlah linguis tersebut, poin yang paling ingin penulis suarakan adalah poin ketujuh dan kedelapan sesuai dengan judul tulisan, yakni pemertahanan bahasa daerah melalui karya sastra. Sudah sepatutnya para penulis khususnya di Sumatera Utara mengambil peran untuk mempertahankan bahasa daerahnya masing-masing. Menulis dan membaca karya sastra yang berbahasa daerah secara terus-menerus. Menggali dan mengangkat budaya lokal sebagai tema dalam karya sastranya.
Sesuai dengan ungkapan Teeuw (1984), mengatakan bahwa karya sastra lahir tidak dalam kekosongan budaya. Artinya, karya sastra lahir dalam konteks budaya tertentu dari seorang pengarang. Pengarang yang bersuku Batak, Jawa dan Betawi, akan memengaruhi gaya kepenulisannya serta tema yang diangkat dalam karya sastranya, seperti karakter tokoh, latar dan bahasa yang digunakan.
Saut Poltak Tambunan (SPT) telah melakukan perannya sebagai seorang penulis bersuku batak Toba. Sejak tahun 2012 hingga awal tahun 2015 telah menulis dan menerbitkan enam buku sastra modern berbahasa batak Toba, dua di antaranya adalah Mangongkal Holi (sekumpulan cerita pendek) dan Mandera Na Metmet (novel). Selama 27 tahun penyelenggaraan Penghargaan Sastra Rancage, Ajib Rosidi mengumumkan bahwa bahasa batak Toba diikutsertakan dalam penghargaan tahun 2015.
Idris Pasaribu pun telah melakukan perannya sebagai penulis bersuku batak Toba. Novel terbarunya berjudul Mangalua yang sudah dibedah pada hari Sabtu tanggal 20 Februari 2016 lalu di FIS UNIMED, sudah tersebar di toko buku di seluruh Indonesia. Novel yang dibedah sehari sebelum hari Internasional Bahasa Ibu itu sangat menggugah perhatian para akademisi, praktisi dan generasi muda. Menurut Idris Pasaribu, setiap penulis perlu untuk menggali (kembali) budaya lokal, sebab bahasa daerah saat ini sudah banyak yang menggunakan bahasa serapan. Upaya itu perlu dilakukan untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa yang sudah “hilang”. Pemertahanan bahasa adalah juga pemertahanan budaya. Para penulis harus melakukan revitasilasi bahasa daerah, yakni usaha untuk menguatkan bahasa yang masih hidup, tetapi kemungkinan akan mengalami pergeseran yang mengakibatkan kepunahan.
 Kedua sastrawan tersebut patutlah menjadi contoh bagi para penulis lain agar mampu mengangkat budaya dan bahasa yang dianutnya dalam karya-karya yang dituliskan. Seperti ungkapan Saut Poltak Tambunan, beliau juga menulis puisi berbahasa daerah sambil mencoba menularkan pencerahan kepada para penulis lain bahwa bahasa daerah, katakanlah bahasa batak Toba sebagai bahasa ibunya, cukup indah untuk diapakan saja. (*)
Penulis adalah Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas HKBP Nommensen-Medan.



Sumber: Analisa, Minggu 06 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar